Bolehkah mengambil upah dari Alquran - Alquran merupakan sumber pedoman bagi kehidupan ummat Islam. Namun, tak semua Muslim mampu menjadikannya sebagai pedoman. Menggudangnya misteri-misteri yang ada di dalamnya menjadikan para ulama berapi-api dalam mengkaji isinya. Mati-matian tentunya. Sampai akhirnya banyak bermunculan kitab-kitab tafsir klasik maupun kontemporer yang mengusung adanya diskursus kajian ke-Alquranan demi terwujudnya pengetahuan tentang kehendak dan maksud Allah yang tersirat dalam kalam-Nya. Kehati-hatian para ulama dalam menafsirkan Alquran juga merupakan wujud dari kebenaran firman Allah SWT.: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Namun, bagaimana jadinya jika fungsi utama al-Quran ini terbengkalai hanya dengan satu hal kecil bersifat keduniaan, yakni ujroh (upah). Kehadiran al-Quran terkerdilkan oleh tujuan komoditas yang menjadi kepentingan pribadi.
Yang perlu kita garis bawahi adalah bentuk upah itu sendiri. Adakalanya berbentuk materi konkret seperti uang, mobil, rumah dan jenis-jenis harta berharga lainnya. Adakalanya malah berbentuk materi abstrak seperti jabatan, pujian, upah menjadi menantu atau anak angkat dan lain sebagainya.
Sebenarnya sama saja antara keduanya. Esensi dalam pembahasan ini adalah perilaku hati terhadap upah itu. Namun yang paling kontras adalah pujian. Sering kali kita terlena hanya dengan adanya satu pujian yang tak bermakna. Pujian ini dapat menyatu di beberapa jenis upah yang saya sebut di atas.
Mendapatkan mobil pasti dengan pujiannya, mendapatkan jabatan pasti dengan pujiannya. Misalnya seperti itu. Bagi insan yang terlanjur terbiasa dengan budaya seperti ini memang agak sulit menanamkan hati yang ikhlas setelah diberi, lebih-lebih jika di kemudian hari dia diminta kembali jasanya untuk mengaji misalnya. Sekali lagi, pembahasan ini sebenarnya menyangkut urusan hati yang tidak semua orang tahu betul tentangnya.
Lalu bagaimana dengan ungkapan menjual ayat Allah? Dalam ya? :)
Bila yang dimaksud dalam ungkapan itu adalah rekonstruksi dari ayat QS. Al-Baqarah : 41, perlu kiranya menelaah kembai kaitan asbabunnuzulnya. Boleh jadi tidak berkaitan sama sekali dengan pembahasan ini. Jangan hanya karena bahasa terjemahnya menjual, kita cocokologikan dengan uang dan sebagainya.
Sementara itu, Imam Abu Zakariya bin Syarif An-Nawawi dalam kitabnya yang sudah tak asing di bumi Indonesia yakni at-Tibyan Fi Hamalatil Quran halaman 52 menyebtukan; Setidaknya dalam menyikapi upah Alquran, para ulama ada 3 macam pendapat.
Pertama, melarangnya. Di antara para ulama yang melarang mengambil upah dari Alquran yakni Az-Zuhri, Abu Hanifah.
Kedua, membolehkannya selama tidak menentukan tarif atau syarat-syarat lainnya. Di antara ulama yang berpendapat tentang ini adalah Hasan Al-Bashri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Siirin.
Ketiga, membolehkannya plus menentukan tarif (yang pantas). Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syafii dan Malik.
Sumber : https://images.app.goo.gl/oUYnpcGmRZQTdrR46
Sebenarnya sama saja antara keduanya. Esensi dalam pembahasan ini adalah perilaku hati terhadap upah itu. Namun yang paling kontras adalah pujian. Sering kali kita terlena hanya dengan adanya satu pujian yang tak bermakna. Pujian ini dapat menyatu di beberapa jenis upah yang saya sebut di atas.
Mendapatkan mobil pasti dengan pujiannya, mendapatkan jabatan pasti dengan pujiannya. Misalnya seperti itu. Bagi insan yang terlanjur terbiasa dengan budaya seperti ini memang agak sulit menanamkan hati yang ikhlas setelah diberi, lebih-lebih jika di kemudian hari dia diminta kembali jasanya untuk mengaji misalnya. Sekali lagi, pembahasan ini sebenarnya menyangkut urusan hati yang tidak semua orang tahu betul tentangnya.
Lalu bagaimana dengan ungkapan menjual ayat Allah? Dalam ya? :)
Bila yang dimaksud dalam ungkapan itu adalah rekonstruksi dari ayat QS. Al-Baqarah : 41, perlu kiranya menelaah kembai kaitan asbabunnuzulnya. Boleh jadi tidak berkaitan sama sekali dengan pembahasan ini. Jangan hanya karena bahasa terjemahnya menjual, kita cocokologikan dengan uang dan sebagainya.
Sementara itu, Imam Abu Zakariya bin Syarif An-Nawawi dalam kitabnya yang sudah tak asing di bumi Indonesia yakni at-Tibyan Fi Hamalatil Quran halaman 52 menyebtukan; Setidaknya dalam menyikapi upah Alquran, para ulama ada 3 macam pendapat.
Pertama, melarangnya. Di antara para ulama yang melarang mengambil upah dari Alquran yakni Az-Zuhri, Abu Hanifah.
Kedua, membolehkannya selama tidak menentukan tarif atau syarat-syarat lainnya. Di antara ulama yang berpendapat tentang ini adalah Hasan Al-Bashri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Siirin.
Ketiga, membolehkannya plus menentukan tarif (yang pantas). Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syafii dan Malik.
Jadi bagi kita yang sering mempermasalahkan hal ini, boleh bertumpu pada pendapat mana saja. Yang terpenting adalah tidak saling menyalahkan antar saudara sendiri seagama. Dan masalah seperti ini adalah masalah hati, yakni urusan dia dengan Tuhannya.
Sumber : https://images.app.goo.gl/cR4W62TuF9mhUKw68 |
Adapun bagi pihak yang memfasilitasi (bukan yang menerima), tidak ada salahnya menghargai orang yang Alquran ada di kepala dan dadanya. Tidak ada salahnya menghargai Alquran sebagai rasa ta'zhim terhadap kitab suci. Tidak ada salahnya lebih meninggikan kualitas keilmuan keagamaan daripada umum. Saya rasa, tidak ada salahnya. Intinya, mengajarkan Alquran atau hal lain yang berkaitan dengan jasa ke-Alquranan adalah hal yang mulia, sebuah hal yang perlu saya rasa jika kita memuliakan sesuatu yang sifatnya mulia.
Bila teman-teman punya argumen yang berbeda dengan saya, silakan berikan komentar dengan bahasa yang santun. Mari berdiskusi!
Terimakasih :)
Sumber : Pribadi
Komentar
Posting Komentar