Langsung ke konten utama

Nasikh Mansukh apakah merupakan benturan makna al-Qur'an?


Nasikh Mansukh
apakah merupakan benturan makna al-Quran? - Al-Quran merupakan satu-satunya pedoman kehidupan yang kebenaran data-datanya tak usah diragukan lagi. Sebagaimana firman Allah Swt di permulaan kitab-Nya :

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ٢

"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa" (QS. Al-Baqarah : 2)

Gambar 1 https://pixabay.com/id/photos/al-qur-an-quran-kuran-islam-allah-4773714/

Dimulai dari kebenaran tentang hukum yang berasal dari Allah, sejarah, ajaran tauhid, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu selalu berkaitan dan mengandung tujuan yang sama yaitu agar manusia menjadi abdinya Allah selama hidupnya. Ada kalanya I'jaz al-Quran menjelaskan betapa indahnya makna-makna al-Quran melalui teori munasabah ayat, yaitu teori tentang keterkaitan antar surat, atau antar ayat, akhir surat dengan awal surat dan masih banyak yang lainnya pula. Hadirnya teori munasabah ini akan menumbuhkan rasa takjub terhadap makna al-Quran dan membuktikan bahwa kitab ini benar-benar perkataan Allah bukan buatan Nabi Muhammad Saw. yang pada akhirnya keimanan akan membenih dalam hati seorang Mu'min lalu daya penghambaannya kepada Allah akan meningkat.

Lalu bagaimana halnya dengan peristiwa nasikh mansukh yang ada di dalamnya. Tentu bagi kita selaku orang awam tahu betul bahwa hal ini akan mendatangkan perselisihan di antara masyarakat bilamana mengetahui bahwa hukum yang ada dalam al-Quran maupun peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu ada kalanya dihapus oleh Allah keberadaannya, meski bunyi ayatnya masih tertera rapi dalam al-Quran. Perkara ini sedikit banyak akan mendatangkan sangkaan bahwa dalam menetapkan wahyu, Allah kerap tidak konsisten sehingga perasaan ragu akan menitik dalam hati dan pikiran seseorang yang melawan fakta "al-Quran tidak ada keraguan padanya", naudzubillahi min dzalik

Nah, maka dari itu apakah hal ini merupakan benturan makna al-Quran? Berikut akan dijelaskan jawaban singkatnya.

Nasikh-mansukh berasal dari kata nasakha-yansakhu-naskhan yang bermakna izalah (hilang/hapus). Adapun secata istilah nasikh artinya dalil syara' yang menghapus hukum dalil syara' yang lain. Dalil syara' yang dihapus ini disebut mansukh. Dikutip dari pendapat Drs. H. Ahmad Syadzali, MA. dan Drs. H. Ahmad Rofi'i, ada beberapa ketentuan nasikh-mansukh yang mesti dipahami bersama, yakni sebagai berikut:

1. Hukum yang dimansukh (diganti) adalah hukum syara'. Bukan akhlak/adab (yang didorong Islam kepadanya), akidah (zat, sifat, kitab-kitab Allah, hari akhir), bukan kabar sharih (yang jelas dan nyata seperti janji Allah tentang surga dan neraka), bukan mengenai ibadah-ibadah dasar dan muamalat. 

2. Dalil nasikh datang lebih kemudian dari ayat yang dimansukh. Artinya ayat mansukh (yang diganti) lebih dulu turun dari ayat nasikh (yang mengganti)

3. Ayat mansukh (yang diganti) tidak memiliki latar waktu tertentu, atau tidak ada keterangan batasan tentang waktu. Karena sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya.

Ketiga ketentuan ini menjadi penting dipahami sebelum mendatangkan pikiran ragu tentang ayat-ayat yang Allah naskh. Semua hal yang menurut kita keliru akan memiliki hikmah tersendiri di tangan Yang Maha Mengetahui. 

Seperti hukum perkawinan sedarah yang telah Allah halalkan pada masa Nabi Adam kepada anak-anaknya. Jika hukum ini tidak dihapus dan diharamkan di zaman sekarang tentu akan membawa petaka dan persilangan keturunan yang tak terkendali. Akibatnya, hukum mawarits dan hukum mahram akan kacau dan kompleks.

https://pixabay.com/id/illustrations/ieva-adam-abel-kain-duka-pertama-1317747/

Contoh ayat yang lain yang sempat dinaskh adalah ayat tentang pemindahan kiblat yang semula tertuju pada Baitul Maqdis, hal ini termaktub dalam QS. al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi :

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

"Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-Baqarah : 144)

Namun demikian, eksistensi hukum naskh mansukh ini masih diperdebatkan oleh para ulama, berikut ikhtilafnya.

- Ulama yang menerima adanya Nasikh Mansukh, yakni Imam Fakhrurozi dan jumhur ulama. Mereka beralasan bahwasanya dalil-dalil yang menunjukkan atas kenabian Nabi Muhammad Saw. , dan kenabian beliau tidak dapat dianggap benar kecuali dengan menasakh syariat-syariat nabi sebelumnya.

Dalil kuat mereka dalam menetapkan hal ini terlihat pada QS. al-Baqarah ayat 106 yang berbunyi : 

مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

"Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?"

- Ulama yang tidak menerima adanya Nasikh Mansukh, yakni di antaranya Imam Abu Muslim al-Ashfahani. Beliau menjelaskan alasannya dengan mengutip firman Allah Swt. QS. Fussilat ayat 42 sebagai berikut.

لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ ۗتَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ

"(yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji."

- Pihak Khusus yang fanatik terbagi menjadi dua golongan :

a. Yang menolak keras, yakni golongan Yahudi. Mereka berpendapat bahwa naskh memiliki konsep al-Bada' yakni muncul setelah tersembunyi. Menurut mereka naskh adakalanya tanpa hikmah, artinya ada sesuatu kejelasan yang turun setelah ketidakjelasan. Tentu hal ini mustahil bagi Allah. Paham seperti ini sangat melenceng dari ketauhidan.

b. Yang menerima keras, yakni Syiah Rafidhah. Pendapat mereka sangat kontradiktif dengan Yahudi di mana pihak Syiah Rafidhah sangat menyadari kemungkinan adanya konsep al-Bada' bagi Allah. Untuk menudukng pendapatnya mereka menisbahkan argumentasi mereka kepada Sayyidina Ali ra. sebagai perisai. 

Akan banyak hal yang harus dibahas mengenai naskh ini. Namun terlepas dari banyaknya pembahasan, kita tetap dituntut untuk paham akan syarat dan pendapat mereka terkait nasikh mansukh. 

Kesimpulannya, mari tetap mengokohkan diri dari pandangan dan pikiran yang tidak sesuai dengan syariat dan ketauhdan yang lurus. Nasikh Mansukh mendatangkan banyak hikmah seperti memelihara kemaslahatan hamba, menyesuaikan perkembangan dakwah dengan kondisi umat manusia, serta mengehendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Artinya, jika naskh beralih kepada hal yang lebih berat, maka di dalamnya terkandung kebaikan, jika naskh beralih kepada hal yang lebih ringan, maka di dalamnya terdapat kemudahan bagi umat. 

Wallahu a'lam. 

Sumber:

al-Qattan, Manna. 2006. Pengantar Studi Ilmu al-Quran. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofii. 1997. Ulumul Quran I. Bandung: CV Pustaka Setia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Nabi Muhammad benar-benar 'ummy'?

Kata ummy dalam Bahasa Arab adalah buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Dalam konteks ini, mereka adalah orang-orang yang tak banyak mengahabiskan waktu dalam pendidikannya atau bahkan tidak sama sekali mengenyam pendidikan. Sebuah pertanyaan yang kerap terdengar di telinga masyarakat kita bahwa benarkah Nabi Muhamad benar-benar seorang ummy dilihat dari segala sudut, merupakan teoretis yang tidak didasar pada ilmu dan keimanan. Maka dari itu pertanyaan ini perlu kami jawab sebagai insan yang berada di lingkungan akademik yang menuntut pemahaman dalam segala hal. Nabi Muhammad adalah seorang anak keturunan Bani Quraisy yang benar-benar merupakan pribumi masyarakat Mekkah. Beliau dididik sesuai adat penduduk Mekkah tapi tidak pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu beliau tahu betul bagaimana budaya jahiliyyah yang menjamur di sana.  Masyarakat Quraisy juga merupakan salahsatu masyarakat yang tergolong memiliki budaya sastra ...

Mengambil upah Alquran sama dengan menjual ayat Allah?

Bolehkah mengambil upah dari Alquran - Alquran merupakan sumber pedoman bagi kehidupan ummat Islam. Namun, tak semua Muslim mampu menjadikannya sebagai pedoman. Menggudangnya misteri-misteri yang ada di dalamnya menjadikan para ulama berapi-api dalam mengkaji isinya. Mati-matian tentunya. Sampai akhirnya banyak bermunculan kitab-kitab tafsir klasik maupun kontemporer yang mengusung adanya diskursus kajian ke-Alquranan demi terwujudnya pengetahuan tentang kehendak dan maksud Allah yang tersirat dalam kalam-Nya. Kehati-hatian para ulama dalam menafsirkan Alquran juga merupakan wujud dari kebenaran firman Allah SWT.: " Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9) Namun, bagaimana jadinya jika fungsi utama al-Quran ini terbengkalai hanya dengan satu hal kecil bersifat keduniaan, yakni ujroh (upah). Kehadiran al-Quran terkerdilkan oleh tujuan komoditas yang menjadi kepentingan pribadi. Sumber :  ht...